PENYIMPULAN Muhtar Habibi, mahasiswa Doktoral Development Studies di SOAS, Univeristy of London, tentang Dana Desa yang dinyatakan bahwa kebijakan Dana Desa dibangun di atas asumsi keliru bahwa penduduk desa niscaya “gotong-royong” terkesan menegasikan. Padahal tradisi gotong-royong di desa hingga saat ini masih hidup dan lestari. Tentu, dengan berbagai tantangannya. Sebelum saya menjelaskan soal Dana Desa beserta pernak-perniknya, bila boleh dikatakan demikian, terlebih dahulu saya ajak Muhtar Habibi berkunjung ke beberapa daerah untuk memelajari betapa negeri kita Nusantara kaya akan modal sosial “gotong-royong”. Sudah barang tentu, penyebutan gotong-royong antardaerah berbeda-beda.

Di Toraja, masyarakat desa di sana mengenal istilah “kombongan”. Tepatnya “kombongan ada’. Roda pemerintahan dan pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Toraja diselesaikan melalui mekanisme ini, yaitu musyawarah adat. Setiap persoalan yang dihadapi oleh orang Toraja dalam kehidupan bersama dibicarakan dalam musyawarah adat. Setiap orang memiliki hak untuk turut dalam musyawarah adat. Nah mereka yang memiliki hak untuk terlibat dalam agenda tersebut disebut tokombongan (Sumarre, 2015).

Di pedalaman Gowa, saya lupa desanya, masih berkembang tradisi yang disebut “rambange”. Dalam tradisi ini, masyarakat desa saling membentuk kelompok. Biasanya terbentuk menjelang musim tanam padi tiba. Setiap kelopok biasanya terdiri dari pemilik tanah atau tuan tanah dan buruh tani atau warga yang tak memiliki tanah. Mereka saling bermusyawarah, mendiskusikan rencana tanam, pemeliharaan hingga musim panen tiba. Yang menarik, hubungan atau relasionalitas antarwarga dalam kelompok ini tidak dilandasi hubungan patron kilen antara tuan tanah dan buruh tani sehingga dengan meminjam istilah James. C. Scott (1993), hubungan interaksi yang terjalin bersifat solidaritas vertikal.

Jadi, hubungan antara pemilik tanah dan buruh tani setara, yang membedakan hanya kepemilikan tanah. Dalam tradisi rambange, tentu seorang anggota kelompok yang tak bertanah memiliki ruang untuk mengusulkan rencana tanam, pemeliharaan sehingga diketahui kesepakatan bersama tentang besaran hasil yang potensial dibawa pulang oleh buruh tani ketika panen padi kelak.

Tradisi gotong-royong juga kita dapati pada masyarakat Ambon dengan pela-gandongnya. Rajutan relasional antarmasyarakat desa bukan sekadar rajutan hubungan atas dasar kesamaan geografis ataupun teritori dan yurisdiksi politik, tapi hubungan kekerabatan. Bahkan mungkin lebih dalam dari kekerabatan. Dengan bangunan hubungan yang demikian, maka praktik pembangunan di wilayah ini terasa lebih ringan karena antara satu desa dengan desa yang lainnya akan saling membantu. Ya, bukan lain karena satu sama lain memiliki ikatan batiniah yang dalam baik sebagai kakak-adik ataupun saudara. Hubungan pela-gandong ini sangat berpengaruh dalam proses pemulihan pasca konflik sosial di tahun 1998-1999-an. Semangat pela-gandong inilah yang kemudian mampu menutup luka sosial yang sempat terobek karena gerusan politisasi agama yang memboncengi dinamika politik reformasi.

Seperti halnya masyarakat Ambon, masyarakat di Kepulauan Kei yang secara pemerintahan sekarang terbagi ke dalam dua wilayah yaitu di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual, juga memiliki modal sosial gotong-royong yang berbasis pada penghayatan diri sebagai anggota satu kekerabatan. Yakni persekutuan di mana orang lain diakui dan diperlakukan sebagai anggota keluarga. Setiap orang diintegrasikan ke dalam suatu jaringan relasi di mana ikatan didasarkan atas sistem keluarga. Dalam kenyataan orang Kei mengerti “keluarga” tidak sebatas “keluarga batih” (ayah-ibu-anak), melainkan selalu “keluarga luas” yang menyakup baik dari keluarga dari marga ibu maupun dari marga ayah (Ohoitimur,2015).

Modalitas sosial yang masih lestari di desa-desa di Nusantara di atas kurang terberdayakan manakala paradigma pembangunanisme dilestarikan oleh pemerintaha Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru lebih memercayai modal kapital uang dan kekuasaan yang tersentralkan untuk mengemudikan kesejahteraan desa. Meski sebenarnya tahu keberadaan desa adalah sebuah kelembagaan lokal yang memiliki energi penopang yang kuat atas berdiri tegaknya negara Indonesia, oleh Orde Baru sumber daya pembangunan nasional tak pernah didesentralisasikan apalagi dipercayakan kepada desa untuk mengelolanya. Padahal Prof. Hatta sudah lama mengingatkan bahwa kejayaan Indonesia bukan terletak pada nyala obor di jakarta melainkan nyala lilin-lilin di desa yang tersebar hingga pelosok negeri.

Karena kewenangan dan keuangan tak pernah diberikan kepada desa, berpuluh-puluh tahun desa dalam kesendirian. Kalau toh ada uang pembangunan yang masuk, maka desa, sekali lagi tak memiliki kuasa yang mengelolanya. Gotong-royong pada akhirnya menjadi satu-satunya jantung pertahanan terakhir yang masih memberi manfaat memompakan oksigen kehidupan masyarakat desa. Meski di era 80-an Indonesia sempat menapaki jalan swasembada beras, dan setelahnya jatuh dalam paceklik, satu-satunya kelembagaan yang bisa menolong masyarakat desa adalah gotong-royong tersebut.

Sebagai contoh adalah kelembagaan yang disebut lumbung. Dari dulu masyarakat desa sudah memiliki piranti sosial yang mampu mengintegrasikan sistem pertanian, kedaulatan dan ketahanan pangan. Sayangnya, kemudian kelembagaan ini juga hancur seiring negara mereplikasi kelembagaan ini menjadi Bulog yang keeradaannya justru mengamputasi peran lumbung desa sebagai jantung ketahanan ekonomi dan pangan desa.

Lalu, di mana hubungan Dana Desa dengan gotong-royong sebagai keniscayaan desa yang kemudian oleh Habibi dinyatakan keliru peletakanya, karena Dana Desa dikeluarkan atas pertimbangan asumsi yang salah. Dengan kata lain, Habibi menyatakan gotong-royong di desa tidak ada, ngapain digelontorkan Dana Desa. Bahkan pada paragraf ke-7 dari paragraf terakhir tulisan yang diberi judul “Dana Desa Hanya Memberdayakan Elite Desa, Bukan Petani”, Muhtar Habibi menyimpulkan kalau Dana Desa adalah gelontoran bantuan tunai.

Dalam frame bantuan tunai ini, Habibi lagi-lagi menyalahkan pemerintah karena mengaluarkan kebijakan Dana Desa program intervensif dan berdiri di atas asumsi yang salah atas desa karena menganggap desa adalah kesatuan penduduk yang harmonis dalam tradisi gotong-royong untuk kebaikan bersama. Dari pandangan ini, mungkin Mba Habibi memiliki pandangan sebaliknya, bahwa desa pada dasarkan kumpulan penduduk yang sebenarnya hidup dalam lingkungan yang penuh konflik dan minus kegotong-royongan.

Untuk menguatkan penyimpulan negativa kebijakan Dana Desa tersebut, Habibi menunjukan beberapa variabel kasuistik sebagai penguat. Diantaranya menyoal buruh migran yang masih saja banyak keluar dari desa mencari negara-negara dengan nilai pendapatan tertinggi dan  ketimpangan penguasaan lahan yang melahirkan dominasi tuan tanah tinimbang buruh tani. Dan, ketimpangan dalam dua kasus ini disebabkan oleh kebijakan bantuan tunai yang disebutnya Dana Desa.

Mengenal UU Desa dan Dana Desa
Sebelum menjelaskan agak panjang soal DD, sebelumnya saya sampaikan terima kasih kepada Habibi ingkang sampun keroyo-royo nulis sehingga dari tulisan anda lahirlah diskusi cerdas antar pegiat desa yang berlatar ragam. Ada akademisi seperti Sotoro Eko, pegiat NGO seperti Titok Haryanto, Bang Yandho Zakaria, dan Ashari. Bahkan perlu saya sampaikan di sini, Bapak Sutoro Eko dan Bung Yandho Zakaria adalah dua dari tiga pemikir di belakang Pansus RUU Desa.

Diskusi tersebut paling tidak saya ketahui dari lama Facebooknya Titok Haryanto. Paling tidak ada dua busur panah yang dilesatkan oleh Titok menanggapi tulisan Muhtar Habibi. Pertama, menurutnya Habibi terlalu memberikan beban berat pada Dana Desa sebagai obat penyelesai semua problematika desa. Kedua, cerita-cerita buruk kehidupan sosial politik dan ekonomi pedesaan yang dieksplorasi Habibi kurang proporsional. Padahal menurut pendapat Titok, tidak kalah banyak cerita sukses bagaimana desa menyejahterakan warga masyarakatnya. Agak senada dengan Titok Haryanto, Ashari menganggap kalau isi tulisan Habibi cenderung menyederhanakan. Meski Ashari cukup mengapresiasi karena kemampuan penulis menyajikan argumen rasional dengan gaya tulisan yang sedang trend seperti tulisannya Ward, Pak Gerry, Priyo Sambodo dll, tapi Ashari tetap merekomendasikan substansi tulisan Habibi perlu diuji. Ashari malah menyarankan agar dialog data yang disajikan hendaknya tidak sekadar mendialektikan data dari pemerintah tapi sandingkan pula dengan evidence obyektif di desa, sehingga kritik dan analisanya berimbang.

Lepas dari diskusi para pendekar dan pejuang desa di atas, memang, sekali lagi penyimpulan Habibi atas Dana Desa sebagai bantuan sosial dan disederhanakan sebagai satu-satunya kebijakan yang bertanggung jawab atas berhasil tidaknya upaya menyejahterakan masyarakat desa mengesankan yang bersangkutan belum memahami UU Desa. Untuk itu tulisan ini berpretensi untuk menyampaikan apa yang penulis tahu tentang UU Desa dan Dana Desa. Lalu mencoba menyampaikan bagaimana pelaksanaan UU Desa meski masih berumur jagung sedikit banyak telah melahirkan embrio-embrio kemakmuran bagi desa.

Sebagaimana mafhum diketahui, pada tahun 2001 Negara Indonesia memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Sentralisasi pemerintahan dirubah menjadi desentralisasi di mana kekuasaan dan kewenangan tidak lagi mutlak berada di tangan pemerintah pusat. Tapi juga di tangan pemerintah daerah. Selain kekuasaan dan kewenangan, pemerintah daerah juga dilimpahi keuangan pembangunan yang bersumberkan APBN dalam bentuk DAK dan DAU. Terhadap kebijakan ini, ada sebagian kalangan yang menyebutnya big bang, karena dentuman besar tersebut telah merubah tatanan kebijakan pembangunan nasional yang puluhan tahun lamanya berada dalam genggaman pemerintah pusat lalu dilimpahkan ke daerah. Sebagian besar urusan pemerintahan diberikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten.

Big bang kedua, bila boleh dikatakan demikian, terjadi pada tahun 2015. Pada tahun ini, pemerintah untuk kali pertama memberlakukan otonomi desa yang diturunkan dari mandat pembaharuan undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Di era otonomi daerah, desa belum diberikan keluasan kewenangan untuk mengurus dan mengatur dirinya, apalagi mendapatkan kepercayaan untuk mengelola dana pembangunan. Dengan UU Desa ini, posisi desa menjadi berbeda dari sebelumnya.

Setidaknya ada lima perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa ini, yaitu: demokratisasi desa, pengakuan atas keragaman jenis desa, pelimpahan kewenangan berdasarkan rekognisi dan subsidiaritas, perencanaan yang terintegrasi (one village one planning and one budget), konsolidasi keuangan dan aset desa. Dengan demokratisasi desa, kini pemerintah desa tak lagi hanya menjadi pelaksana proyek yang perencanaannya ditentukan oleh pemerintah supradesa, melainkan harus merumuskannya bersama-sama masyarakat melalui musyawarah desa.

Pengakuan keanekaragaman desa mengandung makna bahwa negara tak lagi menunggalkan desa baik dari segi nama, struktur sosial maupun tata pemerintahannya. Sekarang dikembalikan kepada kebijakan masing-masing desa. Misalnya sebuah desa dinas diperkenankan kembali kepada desa adat, sepanjang prasyarat-prasyaratnya terpenuhi. Bila mau menggunakan nama sesuai asal-usulnya juga boleh. Misalnya, kalau dulu dengan adanya UU 5/1979 kesatuan masyarakat hukum yang berpemerintahan disebut desa. Kebijakan tersebut kemudian diikuti dengan pembentukan lembaga pemerintahan yang kemudian hari menjadi mesin politik Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus menjadi talang penyaluran proyek pembangunan di desa. Akibat dari kebijakan tersebut keragaman nama dan model pemerintahan lokal menjadi tunggal. Tidak ada gampong, kampung, nagari, negeri dan nama lainnya. Yang ada Desa.

Pelimpahan kewenangan berdasarkan azas rekognisi dan subsidiaritas mengandung pengertian bahwa pemerintah menyampurkan kepercayaan kepada desa untuk menghadirkan fungsi negara kepada warga negara. Apalagi kita tahu, desa adalah entitas yang paling dekat dengan warga negara. Dengan UU Desa, Desa diberikan diakui keberadaannya sebagai entitas negara yang memiliki kewenangan berdasarkan asal-usul dan lokal berskala desa, karena memang secara azali Desa memilikinya jauh sebelum negara ini terbentuk. Kewenangan ini menjadi bekal bagi desa untuk mengurus dan mengatur dirinya sehingga desa dapat mencapai kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraannya baik secara sosial, budaya, ekonomi maupun politik.

Terakhir perencanaan yang terintegrasi hingga pengelolaan keungan dan redistribusi aset, mengandung makna bahwa UU Desa membawa misi pembaruan dalam hal tata kelola sumber daya pembangunan baik yang bersumberkan pada keuangan negara maupun kekayaan negara seperti hutan, lahan dan pantai. Dana pembangunan yang dulu dimonopoli pemerintah pusat, UU Desa memberikan dasar legitimasi hukum yang mewajibkan negara untuk menyalurkan sebagian keuangan negara kepada desa melalui mekanis transfer keuangan ke desa yang disebut Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Kalau DD dari APBN langsung disalurkan ke desa setelah transito dulu di rekening daerah. Sementara ADD berasal dari APBD. Keduanya bukanlah program yang sewaktu-waktu hilang karena lenyapnya good will pemerintah yang berkuasa, tapi hak desa yang keberadaannya adalah mandatory Undang-undang yang harus dijalankan oleh setiap kepala pemerintahan.

Mengapa untuk memenuhi hak desa saja dibuatkan Dana Desa dan ADD. Membuka kembali notulensi dari sebuah sarasehan di Joglo Maos Tradisi Yogyakarta (21/07/2018), AAGN Ari Dwipaya, staf khusus Presiden, yang juga sempat terlibat dalam proses advokasi RUU Desa menyampaikan bahwa untuk membangun dibutuhkan model konsolidasi budget yang lebih jelas dalam satu prioritas yang ingin dibangun. Menurutnya, sejarah pembelanjaan keuangan pembangunan, khususnya yang untuk desa seringkali “ngecer”, dan kecil-kecil. Jadi, sederhananya problem pembangunan tidak hanya fragmatasi dalam sisi paradigmatik, tetapi juga fragmanteddari sisi kelembagaan dan budget. Karena itu kebijakan DD yang menjadi mandat UU Desa dilakukan dalam kerangka reform konsolidasi budget, supaya alokasi dana ke desa dapat lebih besar, dan konsolidasinya akan lebih kuat.

Masih menurut Gung Ari, demikian biasa saya panggil, sejak Orba, dalam program kemiskinan/ pembedayaan desa/pembinaan desa sangat luar biasa, melalui Inpres, Banpres, dll. Tetapi tidak berimpact pada penurunan kemiskinan di desa. Menurutnya, tidak ada hubungan besaran dana dengan turunnya kemiskinan. Kenapa dana ke desa semakin besar? Ya, karena semua kementerian ke desa. Gung Ari meminjam istilah pak Toro dengan menyebut kementerian banyak “membangun outlet-outlet di desa”. Setiap Kementerian punya outlet/program di desa, dan dananya dialokasikan ke desa tetapi tidak ada dampaknya terhadap pengurangan kemiskinan. Bagaimana caranya membuat ini lebih bisa berjalan dengan baik? Dengan budget yang terkonsolidasi, desanya diperkuat, dan dananya diperbesar. Dan reform ini ada pada UU Desa.

Jalan reform menuju kesejahteraan dalam kerangka tata kelola keuangan pembangunan desa, dalam UU Desa pada hakikatnya tidak hanya melalui transfer Dana Desa dan Alokasi Dana Desa tadi. Tapi juga dengan pemberian kewenangan bagi desa untuk mengoptimalkan sumber-sumber daya yang dimilikinya sehingga memungkinkan bagi desa bersangkutan bertambah pundi-pundi keuangannya yang dikelola dari dalam diri desa sendiri. ||

Sumber : http://pid.ppmd.kemendesa.go.id/index.php/2018/12/01/dana-desa-adalah-hak-desa-dan-bukan-dana-bansos/